Budaya Mapalus dan Spirit Kerukunan Masyarakat Sulut
By Abdi Satria
nusakini.com-Manado-Keberagaman (heterogenitas) bangsa Indonesia adalah realitas yang tak terbantahkan. Suku, agama, dan ras yang berbeda disatukan dalam semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Hal ini merupakan kekayaan yang perlu dipelihara dan dirawat secara berkesinambungan oleh seluruh elemen bangsa. Jika tidak demikian, keberagaman dapat berpotensi menimbulkan persoalan.
Keberagaman, jika tidak dikelola dengan baik, dapat menimbulkan pecahnya persatuan dan kesatuan bangsa, dan itu dapat menghambat pembangunan nasional. Oleh karena itu, para penganut agama hendaknya menyadari bahwa kerukunan hidup beragama sangat penting dan bermanfaat dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Sulawesi Utara termasuk wilayah dengan keberagaman yang cukup kompleks dari segi suku, budaya, dan agama. Sebuah provinsi yang secara geografis terletak pada bagian utara pulau Sulawesi, terdiri dari 15 Kabupaten/Kota. Penduduk Sulawesi Utara sebanyak 2.484.392 jiwa sebagian besar berasal dari suku Minahasa, Mongondow, Sangihe, Gorontalo, Batak, Banten, Minang, Jawa, Sunda, Dayak, Bali, Makassar, Bugis, Flores dan Ambon (Badan Pusat Statisik Provinsi Sulawesi Utara, 2018). Berdasarkan komposisi pemeluk agama, Provinsi Sulawesi Utara terdiri dari: Islam (30,97%), Kristen (63,73%), Katolik (4,41%), Hindu (0,58%), Buddha (0,14%), Khonghucu (0,02%), dan agama lainnya (0,36%).
Sulawesi Utara dalam konteks kerukunan antar umat beragama dan sosial mengakar atas peran budaya lokal yang disebut Mapalus. Budaya Mapalus merupakan suatu teknik kerja sama atau sistem untuk menjaga kepentingan bersama dalam budaya Suku Minahasa. Teknik kerja sama lazim diartikan dengan kebersamaan atau gotong royong. Dalam segala sektor hubungan sosial dan keagamaan, Mapalus berfungsi secara baik, seperti pada bidang keagamaan.
Kegiatan Mapalus paling menonjol terlihat ketika ada peralihan siklus kehidupan manusia, yaitu kelahiran, perkawinan, dan kematian. Gotong royong yang dilakukan masyarakat pada setiap peralihan siklus kehidupan manusia mengambil bentuk kebersamaan dalam pembiayaan dan pekerjaan. Ada pemberian secara bergantian, baik tenaga maupun materi, untuk membantu mereka yang memiliki acara.
Budaya ini juga diwujudkan dalam kebersamaan pada hari raya keagamaan. Semua unsur masyarakat saling memberi ucapan selamat. Mereka secara bergantian menjaga keamanan pada perayaan hari kegamaan. Pada saat perayaan Hari Raya Idulfitri misalnya, pemuda dan masyarakat non Islam ikut menjaga keamanan. Demikian sebaliknya dilakukan secara bergantian dilakukan semua pemeluk agama.
Masyarakat Sulawesi Utara memiliki semboyan: “Torang Samua Basudara” (Kita semua bersaudara) dan “Torang Samua Ciptaan Tuhan” (Kita semua ciptaan Tuhan). Semangat ini yang menjadikan masyarakat Sulawesi Utara hidup dalam rasa peduli satu dengan yang lain. Di antaranya dengan melakukan kegiatan bakti sosial/kerja bakti di tempat-tempat ibadah semua agama yang dilakukan oleh Pemuda Lintas Agama. Bahkan Pemerintah Sulawesi Utara telah secara seimbang memfasilitasi kepentingan semua umat beragama.
Pertama, pemberian insentif untuk semua tokoh agama secara adil dan merata yang diterima setiap bulan yang diatur di masing-masing daerah. Kedua, memberikan tunjangan hari raya berupa sembako, ini diberikan di saat menjelang hari raya masing-masing agama. Ketiga, memberikan kesempatan secara bergantian umrah bagi tokoh Agama Islam, dan ziarah rohani bagi tokoh agama Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu.
Keempat, memberikan asuransi jiwa bagi semua tokoh agama lewat “Program Perlindungan Jaminan Sosial bagi Tokoh Agama” melalui Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sulawesi Utara bekerjasama dengan BPJS Ketenagakerjaan. Kelima, Bantuan Pembangunan Rumah Ibadah secara bertahap yang diberikan oleh pemerintah Sulawesi Utara kepada umat yang sedang membangun dengan mengajukan proposal bantuan pembangunan rumah ibadah. Besaran bantuan tidak sama, disesuaikan dengan kebutuhan dan hasil verifikasi.
Upaya para tokoh agama, umat beragama dan pemerintah dalam membangun dan mempertahankan kerukunan di Sulawesi Utara membuat beberapa provinsi di Indonesia melakukan studi banding kerukunan di wilayah ini. Suasana aman, nyaman, dan tentram yang tercipta di tengah-tengah masyarakat membuat Sulawesi Utara menjadi tuan rumah dalam Pekan Kerukunan Internasional dan Konferensi Nasional FKUB pada Bulan November 2021. Pada tahun 2021, Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama menguji kembali indikator kerukunan umat beragama di Indonesia setelah melalui serangkaian survei lapangan, dan kemudian ditetapkan bahwa Sulawesi Utara mendapatkan peringkat tiga tertinggi indeks kerukunannya.
Walaupun tak bisa dipungkiri, seringkali terjadi gesekan intern umat beragama ataupun antar umat beragama di Sulawesi Utara, namun gesekan/konflik beragama tersebut dapat diselesaikan dengan duduk bersama sebagai satu keluarga dengan semboyan “Torang Samua Basudara”. Di samping itu, yang paling penting, karena pemerintah ikut terlibat dan berusaha secepat mungkin memfasilitasi tokoh agama dalam penyelesaian konflik. Tak heran jika di Sulawesi Utara nyaris tidak ada masalah antar umat beragama.
Kondisi seperti ini menjadikan Sulawesi Utara sebagai miniatur kerukunan, karena begitu banyak praktik kerukunan yang dipertahankan bersama. Budaya Mapalus melandasi kehidupan umat beragama yang saling membantu. Semboyan “Torang Samua Basudara” menginspirasi masyarakat Sulawesi Utara untuk hidup berdampingan satu dengan yang lain tanpa mempersoalkan perbedaan. Pemerintah Sulawesi Utara pun giat dan terus memfasilitasi upaya membangun dan menjaga kerukunan. Tokoh Agama dan Pemerintah pun secara terus menerus memaksimalkan usaha-usaha pemeliharaan kerukunan dan pengantisipasian konflik mulai dari tingkat keluarga, lembaga Pendidikan, dan masyarakat.
Santi Yanti Kalangi (Analis Kebijakan Kerukunan Umat Beragama, Kanwil Kementerian Agama Sulawesi Utara)